Lima Desa Pesantren
Bruinessen mencatat, dari 244 tanah perdikan yang secara eksplisit dipergunakan untuk pesantren ada lima desa: Pesantren Tegalsari (Ponorogo/Panaraga), Pesantren Sewulan dan Banjarsari (Madiun), Pesantren Maja (Pajang, Surakarta), dan Pesantren Melangi (Yogyakarta) (hlm. 99). Namun tidak semua pesantren di Jawa didirikan di atas tanah perdikan, seperti Pesantren Sidaresma (Surabaya) yang didirikan dan dikembangkan tanpa memperoleh hak istimewa itu. Bahkan di luar Jawa terdapat lembaga pendidikan pesantren yang berkembang pesat semacam di Jawa, tanpa melalui sistem tanah perdikan karena di sana tidak dikenal istilah itu (hlm. 100).

Sebagaimana penjelasan itu, sistem pendidikan pesantren di Jawa merupakan kesinambungan dari kegiatan pendidikan dan tarekat di pusat penyebaran Islam dan tarekat di Jawa. Pusat-pusat pengajaran dalam praktek sufistik (seperti zawiyah di dunia Islam) pada akhirnya berkembang menjadi pesantren. Praktek suluk (menempuh sesuatu) yang merupakan kegiatan tarekat telah memperkenalkan amalan-amalan tarekat yang berkembang dalam lingkungan pesantren (hlm. 133). Praktek ini cepat berkembang lantaran masyarakat Jawa bercenderung dengan ajaran sufistik (hlm. 155).

Pada abad ke-18 M sistem pendidikan Islam pesantren mulai terbentuk. Kebutuhan terhadap pendidikan Islam, melahirkan pola-pola pengajaran pendidikan dan pendidikan Islam sehingga terbentuklah sistem pendidikan pesantren. Sistem pendidikan pesantren dipakai oleh masyarakat Jawa secara berulang-ulang dan selanjutnya sistem tersebut menjadi pola umum dan diterima oleh masyarakat sebagai lembaga pendidikan. Melalui lembaga ini, masyarakat mentransfer ajaran-ajaran dan keilmuan Islam.

Pada abad ke-19 M pesantren berkembang pesat dan mencapai momentumnya. Pesantren didirikan masyarakat Muslim Jawa di mana-mana di seluruh Jawa dan Madura. Tanpa disadari pada abad ini pesantren telah melembaga di Jawa dan sampai saat ini pesantren tidak kehilangan fleksibilitasnya sebagai sarana transformasi pengetahuan dan budaya.

Kebangkitan Islam dan Kolonialisasi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan mempercepat perkembangan pesantren di Jawa pada abad ini yang secara detail dibahas dalam buku ini. Pertama, kebangkitan Islam. Sejak abad ke-14 M Islam telah memperoleh pijakan yang kukuh di Jawa. Selama berabad-abad Islam menyebar ke seluruh pelosok di Jawa sampai penerimaannnya di wilayah besar yang terakhir, yaitu ‘sudut Timur”, yang terjadi pada akhir abad ke-18 M. Sebagian besar orang Jawa barangkali telah menerima keyakinan Islam, tetapi yang berkembang subur adalah Islam mistik yang mengandung spekulasi metafisik dari masa pra-Islam.

Kedua, kolonialisasi. Pada awal abad ke-19 M kebencian masyarakat telah memuncak sehingga terjadi ketegangan antara masyarakat Jawa dengan orang-orang Eropa. Ketegangan-ketegangan ini akhirnya meledak menjadi peperangan antara masyarakat Jawa dengan bangsa Eropa yang menjajah, dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat di Ja, seperti petani, para bangsawan kraton, kiai, para haji, dan santri-santri. Kecencian dan sikap permusuhan masyarakat Jawa dengan kolonial ini mendorong masyarakat pada pemantapan dan upaya untuk mempertahankan identitas diri pada masyarakat Jawa.

0 komentar:

Free Dragon Cursors at www.totallyfreecursors.com