Sejarah Pesantren (part V)

Tantangan pertama berasal dan sistem pendidikan modern yang pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Ini bermula dengan perluasan kesempatan bagi pribumi dalam pertengahan kedua abad 19 untuk mendapatkan pendidikan.
Program ini dilakukan pemerintah kolonial Belanda dengan mendirikan "volksdchoolen’, sekolah rakyat atau sekolah desa (nagari), dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871, terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang dan menjelang tahun 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid.
Tetapi sekolah desa ini, setidak-tidaknya dalam perkembangan awalnya cukup mengecewakan. Bagi pemerintah Belanda, sekolah desa ini tidak berhasil mencapai hasil yang mereka harapkan, karena tingkat putus sekolah yang sangat tinggi dan mutu pengajaran yang amat rendah. Pada pihak lain, dikalangan pribum khususnya di Jawa, terdapat resistensi yang kuat terhadap sekolah-sekolah ini, yang mereka pandang merupakan bagian integral dari rencana pemerintah kolonial untuk "membelandakan" anak-anak mereka. Selain mendapatkan tantangan dari sistem pendidikan Belanda, pendidikan tradisional Islam, khususnya pesantren, juga berhadapan dengan sistem pendidikan modern Islan yang diperkenalkan oleh kaum reformis atau modernis Muslim.
Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20 berpendapat, diperlukan reformasi sistem pendidikan Islam untuk mampu menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen dalam konteks inilah, kita menyaksikan munculnya dua hentuk kelembagaan pendidikan modern Islam; pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda, tetapi diberikan muatan pengajanan Islam; kedua, madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Dalam bentuk perlama, kita bisa meyebut misalnya Sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada tahur 1909. Sedangkan pada bentuk kedua, kita menemukan "Sekolah Diniyyah" Zainuddin Labay el-Yunus atau Sumatera Thawalib atau madrasah yang didirikan alJami’atul al-Khairiyyah, dan kemudian juga madrasah yang didirikan organisasi al-Irsyad.
Menghadapi ekspansi sistem pendidikan modern Islam tersebut, menurut Karel Steenbrink, pesantren lebih cenderung "menolak sambil mengikuti" Artinya, komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama, mereka tidak bisa lain kecuali dalam batas tertentu mengikuti jejak langkah kaum reformis, jika pesantren akan terus tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan "penyesuaian" yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem perjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dari sistem klasikal. Dalam kaitan ini, pesantren Mambaul Ulum di Surakarta mengambil tempat paling depan dalam merambah bentuk respons pesantren terhadap ekspansi sistem pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam. Pesantren Mambaul Ulum yang didirikan Susuhunan Pakubuwono pada tahun 1906 ini merupakan perintis dari penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam pendidikan pesantren. Menurut laporan inspeksi pendidikan Belanda, pada tahun tersebut, pesantren Mambaul Ulum telah memasukkan mata pelajaran membaca (tulisan Latin), aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya. Rintisan pesantre Mambaul Ulum ini diikuti beberapa pesantren lain. Pesantren Tebuireng misalnya, pada tahun 1916 mendirikan sebuah "Madrasah Salafiyah" yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukkan beberapa pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan menulis dengan huruf Latin ke dalam kurikulumnya.
Model ini kemudian diikuti banyak pesantren lainnya. Salah satu yang terpenting adalah pesantren Rejoso di Jombang, yang mendirkan sebuah madrasah pada tahun 1927. Madrasah ini juga memperkenalkan mata pelajaran non-keagamaan dalam kurikulumnya. Respons yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda, terlihat dalam pengalaman Pondok Modern Gontor. Berpijak pada basis dan sistem kelembagaan pesantren, pada tahun 1926 berdirilah Pondok Pesantren Modern Gontor.
Pondok ini selain memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya untuk mempelajari bahasa Inggris-selain bahasa Arab dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra kurikuler seperti olahraga, kesenian, dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesantren bergerak lebih maju lagi. Berkaitan dengan gagasan tentang "kemandirian" santri setelah menyelesaikan pendidikan mereka di pesantren, beberapa pesantren memperkenalkan semacam kegiatan atau latihan keterampilan (vocational) dalam sistem pendidikan mereka. Salah satu organisasi Islam yang memberi penekanan khusus pada aspek vocational ini adalah Organisasi Persarekatan Ulama di Jawa Barat.
Mendirikan sebuah lembaga pada tahun 1932 atas basis kelembagaan pesantren yang kemudian disebutnya sebagai "Santri Asrama". Haji Abdul Halim yang merupakan pendiri Persarekatan Ulama memperkenalkan pemberian latihan keterampilan bagi para santri. Mirip dengan respons pesantren pada masa kolonial, pesantren di masa kemerdekaan memberikan respons terhadap ekspansi sistem pendidikan umum yang disebarkan pemerintah dengan memperluas cakupan pendidikai mereka.
Sedikitnya, terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam hal ini Pertama, merevisi kurikulumnya dengan memasukkan semakin banyak mata pela,jaran umum atau bahkan keterampilan umum. Kedua membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Cara pertama, seperti dikemukakan di atas, telah dimulai dikalangan pesantren sejak masa Belanda, meski dengan skala yang sangat terbatas. Tetapi dalam masa kemerdekaan, pembaharuan kurikulum ini harus menemukan momentumnya.
Namum perlu ditegaskan, bahwa pembaharuan kurikulum ini tidak berjalan merata di seluruh pesantren, bahkan pesantren-pesantren yang menerima pembaharuan tersebut hanya menerapkannya secara terbatas. Tambahan lagi, terdapat banyak pesantren yang dipimpin kyai lebih konservatif yang umumnya lebih resistan terhadap pembaruan kurikulum atau substansi pendidikan pesantren. Dalam masa-masa kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada dekade 1950-an dan awal 1960-an, pembaruan pesantren banyak berkenaan dengan pemberian keterampilan, khususnya dalam bidang pertanian, yang tentu saja diharapkan menjadi bekal bagi para santri selain untuk menunjang ekonomi pesantren itu sendiri.
Penekanan pada bidang keterampilan ini dengan mudah bisa dipahami dalam masa-masa sulit seperti itu pesantren dituntut untuk self supporting dan self financing. Karena itu banyak pesantren di pedesaan seperti di Tebuireng dan Rejoso, mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vocational dalam bidang pertanian, seperti penanaman padi, kelapa, tembakau, kopi dan lain-lain. Hasil penjualan dari pertanian seperti itu selanjutnya digunakan untuk membiayai pesantren. Pada waktu yang berbarengan, pesantren pesantren besar seperti Gontor, Tebuireng, Denayar, Tambakberas, Tegalrejo dan lain-lain mulai pula mengembangkan Koperasi. Melalui koperasi ini minat kewirausahaan para santri dibangkitkan, untuk kemudian diarahkan menuju pengembangan usaha-usah ekonomi bila sang santri kembali ke masyarakat. Begitu juga cara kedua, yang sebenarnya telah mulai dikemangkan beberapa pesantren sejak masa Belanda, tetapi cara kedua ini semakin menemukan momentumnya khususnya karena persaingan pesantren dengan sistem kelembagaan madrasah modern yang ditempatkan diwah tanggung jawab dan pengawasan Departemen Agama yang sejak 1950-an, melancarkan pembaruan madrasah setelah sebelumnya menegerikan banyak madrasah swasta.
Untuk merespon perkembangan ini, semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah di dalam komplek pesantrennya masing-masing. Dengan cara ini, pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran bagi para santri (umumnya mukim), yang ingin memperoleh pengetahuan Islam secara mendalam dan sekaligus merupakan sebagian murid-murid madrasah sekaligus menjadi santri mukim di pesantren yang bersangkutan. Tetapi setidaknya, dengan terdaftar sebagaimurid madrasah, mereka kemudian mendapat pengakuan dari Departemen Agarna dan dengan demikian memiliki akses lebih besar tidak hanya dalam melanjutkan pendidikan, tetapi juga dalam lapangan kerja.
Dalam perkembangan selanjutnya, tidak jarang ditemukan pesantren yang memiliki lebih banyak murid madrasah daripada santri yang betul-betul melakukan tafaqquh fi al-din. Lebih jauh lagi, beberapa pesantren tidak berhenti dengan eksperimen madrasahnya. Beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum yang berada di bawah sistem Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bukan sistem pendidikan agama yang berada di bawah Departemen Agama. Dengan kata lain pesantren bukan hanya mendirikan madrasah tetapi juga sekolah-sekolah umum, yang mengikuti sistem dan kurikulum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud).
Di antara pesantren yang dapat dipandang sebagal perintis dalam eksperimen ini adalah pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang, yang pada September 1965 mendirikan Universitas Darul Ulum, yang terdaftar pada Departemen P&K. Universitas ini terdiri dari 5 fakultas dan hanya 1 fakultas yang merupakan fakultas agama Islam. Pesantren lain yang juga menempuh cara ini adalah pesantren Miftahul Mu’allimin di Babakan Ciwaringin, Jawa Barat, yang mendirikan sebuah Sekolah Teknik Menegah (STM). Dalam masa-masa lebih belakangan, eksperimen seperti ini dilakukan oleh makin banyak pesantren, sehingga menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan yang ingin mempertankan identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk tafaqquh fi al-din, atau mempersiapkan calon ulama, bukan untuk kepentingan-kepentingan lain, ususnya pengisian lapangan kerja. Pada saat yang sama juga terdapat kecenderungan kuat pesantren untuk melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen.
Secara tradisional, kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua orang kyai, yang biasanya merupakan pendiri pesantren yang bersangkutan. Tetapi perkembangan kelembagaan pesantren terutama karena terjadinya diversifikasi pendidikan yang diselenggarakan yang juga mencakup sekolah dan lembaga umum, maka kepemimpinan tunggal kyai tidak memadai lagi.
Akhirnya banyak pesantren yang kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan, yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan pesantren tadi adalah Pesantren Maskumamanang di Gresik, yang didirikan pada tahun 1859 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH. Abdul Jabbar. tetapi pada tahun 1958 kepemimpinan pesantren ini diserahkan kepada Yayasan Kebangkitan Umat Islam. Dengan perubahan pola kepemimpinan dan manajemen ini maka kebanyakan pesantren tidak lagi merosot, atau lenyap dengan meninggalnya sang kyai pendiri pesantren. Kyai tidak lagi menjadi faktor utama satu-satunya yang menentukan kharisma serta maju mundurnya pesantren. Di era modern Pondok Pesantren kemudian tidak harus didirikan oleh para Kyai, tetapi sebuah Yayasan Islam yang berdiri dan juga dapat mendirikan Pesantren-Pesantren Modern. Hal tersebut sebagaimana juga dilakukan oleh H.M. Said Amin di Kalimantan Timur, yang mendirikan Pondok Pesantren Nabil Husein yaitu sebuah Pesantren Modern yang didirikan untuk menampung anaik-anak dan keluarga tidak mampu di Samarinda Kalimantan Timur.
Kenyataan ini merupakan faktor penting yang membuat pesantren semakin lebih mungkin bertahan untuk menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Pesantren menghadapi pengalaman dan mencobakan eksperimen yang pada dasarnya sama dalam masa pemerintahan Orde Baru. Bertitik tekan pada pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru juga menaruh harapan kepada pesantren untuk menjadi salah satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat.
Dengan demikian, pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalya, yakni:
Pertama, transmisi transfer ilmu-ilmu Islam;Kedua pemeliharan tradisi Islam; dan ketiga, reproduksi ulama sesuai dengan ideologi developmentalism pemerintah Orde Baru, pembaruan pesantren dalam masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih responsive terhadap kebutuhan tantangan zaman.
Dalam konteks ini misalnya substansi ilmu kalam diajarkan dipesantren diharapkan bukan lagi teologi sy’ariyah atau Jabariyah, tetapi teologi yang kondusif bagi pembangunan, yakni teologi yang lebih mendorong tumbuhnya prakarsa, usaha, atau etos kerja. Selain pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi (tepatnya refungsionalisasi) pesantren sebagai satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat sendiri (people-centered development), dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai-nilai (value-oriented development).
Dalam kaitan gagasan itulah, pesantren diharap tidak lagi memainkan ketiga fungsi tradisional tadi, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup dan yang lebih penting lagi, menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya.
Dalam konteks terakhir, terlihat semakin banyak pesantren yang terlibat aktivitas-aktivitas vocational dan ekonomi, seperti dalam usaha-usaha agrobisnis yang mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan dan kehutanan; pengembangan industri rumah tangga atau industri kecil seperti konveksi, kerajinan tangan, pertokoan, koperasi dan sebagainya.
Untuk menyimpulkan, respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal ini mencakup; pertama, pembaruan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan vocational; kedua, pembaruan metodologi, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan; dan keempat, pembaruan fungsi, dan fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial ekonomi.

0 komentar:

Free Dragon Cursors at www.totallyfreecursors.com