Ketiga, kitab-kitab tauhid (teologi). Diketahui, mayoritas pesantren di nusantara cenderung mengajarkan kitab-kitab tauhid berhaluan Asy’ariyyah atau Maturidiyyah, seperti Umm al-Barahin, Sanusi, Dasuqi, Kifayah al-’Awwam, Tijan al-Darari, dan sebagainya. Mereka juga terkenal moderat, karena berhasil memoderasi tauhid a la Muktazilah yang menonjolkan nalar dan Khawarij yang gampang melontarkan tuduhan kafir pada kelompok lain.
Bahkan kelompok Khawarij ini tak canggung melakukan kekerasan fisik (pembunuhan) pada kelompok yang tak sepaham. Jika secara genetis tradisi pesantren berakar dari Khawarij, maka bisa dimaklumi pesantren identik dengan aksi-aksi terorisme. Tapi nyatanya tidak demikian, karena tradisi pesantren tidak bersumber dari Khawarij.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan, secara genetika pesantren tidak terkait sedikitpun dengan kelompok yang mengedepankan kekerasan atau terorisme. Karena itu, jika terbukti ada segelintir alumni pesantren yang terseret arus terorisme, bisa dipastikan mereka telah termakan ajaran-ajaran yang berkembang di luar tradisi pesantren.
Sebagai bukti, dalam karyanya Aku Melawan Terorisme, Imam Samudra yang alumni pesantren mengaku, dirinya bertindak demikian karena terilhami buku Ayat al-Rahman fi Jihad al-Afghan karya Abdullah Azzam. Buku ini tidak pernah dijadikan acuan dalam tradisi pesantren. Selain itu, jika pesantren diklaim sebagai produsen teroris, padahal pesantren hanya mengamalkan ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab klasik, mengapa hanya pesantren di Indonesia saja yang dikait-kaitkan dengan terorisme, sementara banyak pesantren di negara lain juga mengajarkan kitab-kitab yang sama? Ini pertanyaan besar yang sulit dicari jawabnya. Wa Allah a’lam.

0 komentar:

Free Dragon Cursors at www.totallyfreecursors.com