Sejarah Pesantren (part IV)

3. Konsep Pendidikan Islam dan Pesantren
Manzoor Ahmed mendefinisikan pendidikan sebagai "suatu usaha yang dilakukan individu-individu dari masyarakat untuk mentransformasikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktivitas kehidupan secara efektif dan berhasil".
Sharif Khan mendefinisikan maksud dan tujuan pendikan Islam sebagai berikut:
a) Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b) Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajarar ini bersifat abadi.
c) Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan Perubahan- Perubahan dalam masyarakat.
d) Menanamkam pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e) Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f) Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.
Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1997: "Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan manusia "yang menyembah Allah" dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktivitas keseharian-nya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan. "Oleh karena itu, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam semata. Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim, terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan "anak-anak muda enerjik yang cerdik pandai. Berdasarkan kerangka nilai-nilai pendidikan Islam itu,
kita mencoba berdialog dengan realitas sistem pendidikan, beserta seluruh unsur yang melekat pada pesantren, sebagaimana yang dengan detil dijabarkan diatas. Sampai batas-batas tertentu, pesantren telah berperan besar mengenalkan, menyebarkan dan mempertahankan Islam (dan nilai-nilai kemanusiaan) di Indonesia. Pola pendidikannya yang amat menekankan fleksibilitas memberi nilai-nilai positif pada pesantren untuk tetap eksis menghadapi perubahan zaman.Pendidikan pesantren muncul dan berkembang sesuai kebutuhan masyarakat sekitar.
4. Fenomena Pesantren Modern
Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan Dunia Muslim tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sisten pendidikan umum untuk tidak menyebut sistem pendidikan "sekuler" atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum atau setidak-tidakny mnenyesuaikan diri dan mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan umum Untuk memperjelas argumen di atas, dapat dikemukakan nasib atau pengalaman beberapa daerah pada kawasan dunia muslim lainnya dalam proses perubahan dan modernisasinya.
Lembaga pendidikan tradisional Islam di kawasai Timur Tengah pada umumnya secara sederhana biasanya terdiri dan tiga jenis; madrasah, kuttab, dan masjid. Sampai separuh abad 19, ketiga lembaga pendidikan tradisional Islam ini relative mampu bertahan. Tetapi sejak perempatan terakhir abad ke-19, gelombang pembaharuan dan modernisasi yang semakin kencang telah menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak bisa dimundurkan lagi dalam eksistensi lembaga lembaga pendidikan Islam tradisional. Pembangunan dan modernisasi pendidikan Islam, tidak diragukan lagi, bermula di Turki menjelang pertengahan abad 19 sebelum akhirnya menyebar hampir ke seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani di Timur Tengah.
Tetapi penting dicatat, program pembaharuan pendidikan di Turki semula tidak menjadikan medresse (madrasah), lembaga pendidikan tradisional Islam, sebagai sasaran pembaharuan. Yang terjadi adalah pembentukan sekolah-sekolah baru sesuai dengan sistem pendidikan Eropa, yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan reformasi militer dan birokrasi Turki Usmani. Dalam konteks ini kita bisa melihat misalnya kemunculan "Mekteb-I ilm-I Harbiye" (sekolah militer) pada tahun 1834 sesuai dengan model Prancis. Tetapi dalam selang waktu yang tidak terlalu lama (1938) Sultan Mahmud II (1808-1839) segera pula melancarkan pembaharuan pendidikan Islam dengan memperkenalkan Sekolah Rusydiyyah, yang sepenuhnya mengadopsi sistem pendidikan Eropa. Sistem sekolah Rusydiyyah ini independent, atau bahkan berlawanan dengan medresse. Selanjutnya, Sultan ‘Abd al-Majid pada tahun 1846 mengeluarkan peraturan yang memisahkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum, medresse berada di bawah yurisdiksi Syaikh al-Islam, sedangkan sekolah umum dengan berbagai tingkatannya ditempatkan di bawah tanggung jawab langsung pemerintah.
Tetapi, penting dicatat bahwa sekolah umum yang diharapkan menjadi tulang punggung modernisasi itu ternyata berkembang relative lambat. Ini mendorong pemrinntah Turki Usmani untuk mengeluarkan ketetapan "Ma’arif Umumiye Nizamnamesi" (1869), guna memperluas dan mempercepat perkembangan sistem pendidikan umum model Eropa, dengan mengorbankan medresse. Pukulan terakhir terhadap medresse terjadi pada tahun 1924, ketika Mustafa Kemal Ataturk menghapuskan sistem medresse dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum. Pengalaman yang sama juga ditempuh oleh Mesir.
Modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan di Mesir dimulai oleh Muhammad Ali Pasya. Pada tahun 1833 ia mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah umum, yang dalam perkembangan awalnya hidup berdampingan dengan madrasah kuttab. Sekolah dasar umum yang segera berkembang diseluruh wilayah Mesir, semula dimaksudkan untuk menyiapkan calon-calon bagi sekolah militer, yang juga didirikan Muhammad Ali Pasya. Semula isi pendidikannya sebagaian besar adalah subyek-subyek Islam, ditambah beberapa matapelajaran umum. Tetapi, dalam perkembangan lebih lanjut, penekanan lebih diberikan kepada subyek-subyek umum. Dalam waktu yang bersamaan, Muhammad Ali Pasya juga mendirikan sekolah-sekolah unum tingkat lanjutan, yang dikenal dengan nama skolah Al-Tajhiziyyah.
Sekolah ini terutama mengajarkan ilmu- ilmu umum seperti berhitung, ilmu ukur, aljabar, mengambar dan lain-lain, selain juga memberikan beberapa mata pelajaran agama. Sementara itu, madrasah dan kuttab secara umum tidak mengalami perkembangan yang berarti, bahkan kuttab pada gilirannya hanya menjadi semacam pelengkap bagi sekolah umum, khususnya untuk mendapatkan tambahan pelajaran agama. Bahkan Khedive Ismail, pada tahun i868, mengeluarkan ketetapan untuk mengintegrasikan madrasah dan kuttab dalam sistem pendidikan umum. Meski demikian, upaya ini tidak begitu sukses hasilnya, sistem pendidik madrasah dan kuttab tetap bertahan dalam masa penjahan Inggris.
Tetapi setelah kemerdekaan, dengan alasan integrasi atau nasionalisasi sistem pendidikan nasional Mesir, pemerintah Gamal Abdel Nasser pada tahun 1961 menghapuskan sistem madrasah dan kuttab. Pengalaman Turki dan Mesir agaknya cukup memadai untuk menggambarkan proses-proses memudar dan lenyapnya sistem pendidikan tradisional Islam dalam gelombang modernisasi yang diterapkan para penguasa di masing-masing negara tersebut. Situasi-situasi sosiologis dan politis yang mengitari medresse di Turki atau madrasah dan kuttab di Mesir dalam segi-segi tertentu, agaknya berbeda dengan situasi sosiologis yang mengitari pesantren di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut, pada gilirannya membuat pesantren tetap mampu bertahan. Dunia pesantren, dengan meminjam kerangka Hussein Naser, adalah dunia tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dan masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.
Karena itu, tetap bertahannya pesantren agaknya secara implisit mengisyaratkan, bahwa tradisi dunia Islami dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan ditengah deru modernisasi. Pada awalnya, dunia pesantren terlihat "enggan" dan "rikuh" dalam menerima modernisasi; sehingga tercipta apa yang disebut Nurcholish Madjid sebagai "kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar". Tetapi secara gradul pesantren kemudian melakukan akomodasi dan konsesi tertentu untuk kemudian menemukan pola yang dipandangnya cukup tepat, guna menghadapi modernisasi dan perubahan yang kian cepat dan berdampak luas. Tetap semua akomodasi dan penyesuaian itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan esensi dan hal-hal dasar lainnya dalam eksistensi pesantren. Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya untuk melakukan adjustment dan readjustment. Tetapi jug arena karakter eksistensinya yang dalam bahas Nurcholish Madjid disebut sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman, tetapi jug engandung makna keaslian Indonesia (indigenous).
Sebagai lembaga indigenous, pesantren muncul berkembang dan pengalaman sosiologis masyarak lingkungannya. Dengan kata lain, pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tak terpisahkan dengan komunitas lingkungannya. Kenyataan ini bisa dilihat, tidak hany latar belakang pendirian pesantren pada suat lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaa eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, sadaqah, hibah dan sebagainya. Sebaliknya pantren umumnya "membalas jasa" komunitas lingkungannya dengan bermacam cara tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan tetapi juga bimbingan sosial, kultural an ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam kontek inilah, pesantren dengan kyainya yang disebut Clifford Geertz, sebagai (pialang budaya) dalam pengertian luas.
Tidak hanya itu, pesantren bukan sekadar mampu bertahan dari goncangan modernisasi sistem pendidikan yang melanda seluruh penjuru dunia. Tetapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan konsesi yang diberikannya, pesantren pada gilirannya juga mampu mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.

0 komentar:

Free Dragon Cursors at www.totallyfreecursors.com