”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Al Baqarah : 267)
"Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.". (QS : At-Taubah : 103).
Zakat merupakan salah satu pokok agama yang sangat penting dan strategis dalam Islam, karena zakat adalah rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Jika shalat berfungsi untuk membentuk keshalihan dari sisi pribadi seperti mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, maka zakat berfungsi membentuk keshalihan dalam sistem sosial kemasyarakatan seperti memberantas kemiskinan, menumbuhkan rasa kepedulian dan cinta kasih terhadap golongan yang lebih lemah. Pembentukan keshalihan pribadi dan keshalihan dalam sistem masyarakat inilah salah satu tujuan diturunkannya Risalah Islam sebagai rahmatallil ‘alamin oleh Allah SWT kepada manusia.
Dengan zakat, Allah SWT menghendaki kebaikan kehidupan manusia dengan ajaran-Nya agar hidup tolong menolong, gotong royong dan selalu menjalin persaudaraan. Adanya perbedaan harta, kekayaan dan status sosial dalam kehidupan adalah sunatullah yang tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Bahkan adanya perbedaan status sosial itulah manusia membutuhkan antara satu dengan lainnya. Dan zakat (juga infaq dan shadaqah) adalah salah satu instrumen paling efektif untuk menyatukan umat manusia dalam naungan kecintaan dan kedamaian hidupnya di dunia, untuk menggapai kebaikan di akhirat.
Dengan ramainya masalah terorisme di Indonesia yang disangkutpautkan
dengan keberadaan ajaran agama Islam di pesantren, kiranya patut kita
simak dengan seksama artikel tulisan dari Nurul Huda Maarif yang di muat
di Duta Masyarakat tanggal 19 Januari 2006 berikut ini.
Tradisi Pesantren dan Terorisme
Oleh: Nurul Huda Maarif
Duta Masyarakat, 19 Januari 2006
Stigma pesantren sebagai ‘produsen’ teroris telah menggelinding ke
seluruh penjuru nusantara. Masyarakatpun menangkap dan memaknai bola
panas itu secara beragam. Sebagian membenarkan, sebagian ragu penuh
tanya, dan sebagian besar lainnya menolak tegas. Diskusi, artikel, dan
komentar terus-menerus bermunculan di berbagai media, terkait isu besar
ini.
Dan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, menjadi satu-satunya sosok yang
paling banyak dan bertubi-tubi menerima ‘hadiah’’ protes dan demo dari
kelompok yang menolak, karena Ketua Umum Partai Golongan Karya ini
dianggap sebagai pihak pertama yang ‘bertanggungjawab’ menggelindingkan
bola panas itu.
Misalnya bermula dari statemen kontroversialnya pesantren harus
diawasi hingga pengambilan sidik jari santri. Yang pasti, kini stigma
itu telah ‘memporak-porandakan’ the great tradition (tradisi agung)
pesantren yang selama ini dikenal sebagai lembaga pencetus muslim
moderat.
Jika stigma ini tidak segera dibendung, dikuatirkan efeknya akan kian
meluas dan pesantren akan kian tersudut. Untuk itu, melalui artikel
sederhana ini, penulis berupaya membendung arus deras stigma itu,
melalui penelusuran terhadap geneologi tradisi pesantren.
Keywords: Pesantren, pesantren’s historical context, Islamic education, curriculum.
Pendahuluan
Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti “rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu”. Di samping itu, “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab “fanduk” yang berarti “hotel atau asrama”. Ada beberapa istilah yang ditemukan dan sering digunakan untuk menunjuk jenis pendidikan Islam tradisional khas Indonesia atau yang lebih terkenal dengan sebutan pesantren. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura, umumnya dipergunakan istilah pesantren atau pondok,1 di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkung atau meunasah, sedangkan di Minangkabau disebut surau.
Adapun pengertian secara terminologi, dapat dikemukakan beberapa pendapat yang mengarah pada definisi pesantren. Abdurrahman Wahid, memaknai pesantren secara teknis, a place where santri (student) live, sedangkan Abdurrahman Mas’oed menulis, the word pesantren stems from “santri” which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge. Kata pesantren berasal dari “santri” yang berarti orang yang mencari pengetahuan Islam, yang pada umumnya kata pesantren mengacu pada suatu tempat, di mana santri menghabiskan kebanyakan dari waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan.