Dalam
keadaan tertindas, resah, dan gelisah masyarakat Jawa kemudian memakai
Islam sebagai identitas kultural untuk melawan Belanda. Di sinilah
kemudian pesantren mendapat pengaruh di masyarakat dan semakin
berkembang “berkat” kesombongan kolonial Belanda. Misalnya, meskipun di
Banten tidak banyak ditemui pesantren besar, namun pesantren-pesantren
kecil pada tahun 1888 mempunyai peranan penting dalam peristiwa
pemberontakan petani Banten. Kalangan santri pesantren di Banten dikenal
sangat radikal dalam melawan pemerintah Belanda.
Di
Cirebon, pimpinan Pesantren Lengkong Kuningan, Kiai Hasan Maulani, tak
pernah pantang menyerah dalam mempertahankan keberadaan pesantren di
hadapan kolonial Belanda. Kiai yang dibuang di Tondanao pada tahun 1942
karena terlibat Perang Jawa ini beserta santri-santrinya mempunyai
pengaruh kuat sehingga ditakui oleh Belanda. Sementara itu, Kiai Rifa’i
Kalisalak tak jauh sifatnya dengan Kiai Maulani, bedanya ia dibuang ke
Ambon karena idealismenya terhadap pesantren (hlm. 182).
Jelas
peranan kiai yang berani melawan itu telah membantu mempercepat
pengembangan agama Islam di pedesaan. Islam di Jawa secara
perlahan-lahan mulai menanggalkan sifat-sifat lokal yang sinkretik dan
meningkatkan pertumbuhan ortodoksi Islam di pedesaan yang dipelopori
oleh guru-guru agama dan kiai-kiai. Kiai sebagai elit keagamaan
mempunyai pengaruh yang luas di masyarakat. Kesadaran akan tanggungjawab
dan tugas sebagai ulama kepada umatnya, mendorong kiai untuk memelihara
hubungan dengan santri-santrinya serta masyarakat sekitarnya melalui
pengajaran, khutbah di masjid, upacara doa, dan kunjungan ke rumah-rumah
penduduk.
Maka, kiai
sebagai guru dan penyebar agama Islam memiliki peranan penting di
pedesaan dalam melawan penjajah. Posisinya sebagai sosok intelektual
atau ulama dalam komunitas Muslim sangat sentral dalam menggerakkan
gerakan-gerakan sosial dari kelompok-kelompok yang memiliki berbagai
kepentingan menjadi gerakan-gerakan ideologis.
Kiai
sebagai intelektual memiliki kekuatan untuk memperdalam dan
mengintensifkan perjuangan dengan cara memantapkan dorongan-dorongan
personal menjadi dorongan-dorongan kelompok dan menggerakkan mereka
menuju perjuangan demi ‘kebebaran abadi’. Oleh karena itu, pada masa
penjajahan dapat dilihat bagaimana pesantren menjadi alat pengendali
ideologi yang efektif (hlm. 176).
***
Buku
ini mencoba memberikan pengantar kepada pembaca tentang sejarah
perkembangan pesantren sehingga melembaga sebagaimana dapat kita
saksikan dewasa ini di hampir setiap daerah di Indonesia. Sebagai
lembaga pendidikan yang mulanya mempunyai tujuan murni memberikan
pendidikan bagi rakyat, kini telah berkembang –antara lain-- menjadi
kekuatan legitimasi politik. Tak mengherankan jika pesantren sering
dimanfaatkan sebagai alat legitimasi bagi kelompok politik untuk meraih
dukungan. Maka, sejarah berdirinya pesantren di berbagai daerah pun
sering mengilhami para peneliti untuk terus menggali sejauh mana peranan
pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah Air.
Sosoknya
yang dewasa ini mempunyai corak dan sistem pembelajaran yang berbeda
jauh dengan masa lalunya menjadikan kita dapat menangkap bahwa pesantren
telah mengalami pergeseran yang luar biasa dari awalnya (dulu cenderung
memakai sistem pembelajaran bandongan dan sorogan, kini telah mengalami
modernisasi menjadi klasikal). Sehingga tak berlebihan ketika buku ini
dinilai menjadi kebutuhan tersendiri bagi para peneliti agar lebih
intensif mempelajari bagaimana kini pesantren harus berupaya beradaptasi
dengan perkembangan jaman yang semakin plural dengan kecanggihan
peradaban kapitalisme.
0 komentar:
Posting Komentar