terorisme tak beranjak dari negeri ini. Jumat 17 Juli 2009 lalu bom
diledakkan di Mega Kuningan Jakarta, membantai sembilan jiwa dan melukai
puluhan orang. Kita semua marah dan geram. Sesaat setelah itu, banyak
aktivis HAM, tokoh agama dan politik mengecam kebuasan pelaku pemboman.
Karangan bunga duka cita diletakkan, simbol belasungkawa bagi korban.
Pengurus NU dan Muhammadiyah menyesalkan dan lantang menyuarakan kutukan
atas pemboman itu. Tapi, mereka mewanti-wanti agar pemboman itu tak
dikaitkan dengan Islam termasuk pesantren. Menurut mereka, Islam
pesantren tak menganjurkan terorisme. Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, kata mereka tandas.
Namun, beberapa indikasi pelaku pemboman di Hotel JW Marriot dan
Ritz-Carlton itu mulai mengarah pada pemain lama, yaitu jaringan Noordin
M. Top. Kelompok ini adalah orang-orang yang percaya bahwa bom bunuh
diri merupakan bagian dari jihad fi sabilillah dan pelakunya
adalah mati syahid. Para pelaku pemboman ini memegang kebenaran absolut
yang tak bisa didiskusikan. Bahwa non-Muslim hari ini adalah kafir yang
bisa dibasmi di manapun mereka berada, tak terkecuali di Indonesia.
Indonesia diputuskan sebagai daerah peperangan (dar al-harb),
dengan demikian membinasakan “yang lain” adalah halal. Mereka membenci
“Barat”, Amerika Serikat, kehidupan sekular, dan demokrasi. Tapi,
seperti yang kita tahu, kejayaan Barat tak kian surut dan Amerika pun
masih eksis.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar