B. Pesantren dalam Sistem Pendidikan Islam
Pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan, sekaligus pusat penyebaran agama,
sebagaimana yang diuraikan di atas, diperkirakan sejalan dengan
gelombang pertama proses penyebaran agama Islam di daerah Jawa, dan
sampai sekarang masih tetap bertahan, bahkan mengalami perkembangan
dengan berdiri diberbagai daerah di Indonesia. Perkembangan pondok
pesantren menunjukkan gejala naik, yaitu dengan berdirinya pondok-pondok
pesantren baru, walaupun secara kualitatif masih dipertanyakan. Namun
indikator kearah perbaikan kualitas telah tampak, yaitu dengan
mengembangkan kegiatan-kegiatan baru yang mengaral pada penggabungan
Pondok Pesantren dan sistem Sekolah Modern.
Ini
menunjukkan bahwa pondok pesantren responsive, dan relevan terhadap
perubaha an perkembangan masyarakat. Uraian di atas juga telah mmberikan
petunjuk bahwa pondok pesantren mempunyai akar sejarah yang panjang.
Selain itu, pondok pesantren juga mempunyai akar sosial yang kuat hingg
menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
Sehingga
dapat dipahami bila pengaruh dan peranannya pada masyarakat sekitarnya
begitu luas. Melalui kajian sejarah, dapat diketahui bahwa pondok
pesantren sebagai pusat perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan
penyebaran agama, seperti tercermin dalam berbagai pengaruh pondok
pesantren terhadap kegiatan politik di antara para raja dan pangeran
Jawa. Setelah Belanda datang, pondok pesantren menjadi pusat perlawanan
dan benteng pertahanan rakyat, seperti dikemukakan oleh Sartono
Kartodirjo bahwa pondok pesantren mempunyai pengaruh besar dalam
mobilisasi masyarakat pedesaan untuk aksi-aksi protes terhadap masuknya
birokrasi kolonial di pedesaan. Kehadiran dan peranan serta pengaruh
pondok pesantren dalam panggung sejarah Indonesia, sampai Masa revolusi
telah terbukti.
Ini
merupakan bukti komitmen pesantren terhadap agama, bangsa, dan juga
masyarakat Indonesia. Pada tahun 1640-1682, terjadi perjuangan yang
sangat menentukan dalam sejarah Islam di Indonesia. Perjuangan itu
adalah memperebutkan hegemoni antara kerajaan-kerajaan Islam di pulau
Jawa dengan kolonial Belanda.
Akhirnya
perjuangan kerajaan Islam dapat dipatahkan oleh pihak Belanda. Setelah
Belanda berhasil mencengkeramkan kekuasaannya di Indonesia, baik secara
ekonomi maupun politik di Pulau Jawa, Beland segera melaksanakan
pembatasan pengawasan yang ketat kepada Islam. Selain alasan politik dan
keamanan,
Belanda
juga mendukung misi kristenisasi. Ditegaskan oleh Zamaksyari Dhofier,
bahwa orang Belanda pada waktu itu adalah penganut Calvinis Puritan yang
sangat fanatis. Pembatasan dan pengawasan yang ketat terhadap Islam di
kota, telah mengakibatkan adanya perpindahan pusat studi Islam ke daerah
pedesaan yang mengambil bentuk pondok pesantren. Hal ini dikarenakan
Islam di kota tidak lagi mampu berperan dalam pembentukan kehidupan
kota, baik agama, maupun sosio-kultur.
Kota
merupakan pusat politik Kolonial dan Kristen. Sementara wilayah pedesan
menjadi pusat pertumbuhan pondok pesantren. Secara politis-geografis,
pedesaan Iebih aman dari jangkauan Belanda, sehingga kyai lebih leluasa
dalam proses kehidupan masyarakat setempat. Sejarah mencatat, peran yang
besar dimainkan oleh pondok pesantren dalam perjuangan melawan Belanda
Pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren, dan apa yang membuat
pondok pesantren mampu bertahan seIama kurun waktu sejarah hingga
sekarang ini, merupakan hal yang menarik, sehingga pondok pesantren
masih eksis di tengah umat Islam, dan akan mampu bertahan di waktu yang
akan datang. Terdapat dua faktor yang mendukung eksistensi pondok
pesantren secara umum, yaitu meliputi faktor intern dan ekstern.
1. Faktor Internal
Pertama,
Faktor Kemandirian: secara kelembagaan pondok pesantren mempunyai
kemandirian. Kemandirian itu tercermin dalam figure kyai sebagai
pemimpin dan pengasuh yang mempunyai otoritas penuh terhadap keseluruhan
yang ada dilingkungan pesantren. Maju-mundurnya pesantren sangat
tergantung dari ketokohan kyai yang memimpin dan mengasuhnya. Tradisi
yang digunakan untuk menentukan kyai pengasuh pondok adalah tradisi
turun-temurun diambil dari putra tertua laki-laki. Gambaran pondok
pesantren seperti ini menunjukkan, bahwa dalam sistem tersebut
menyerupai sebuah kerajaan kecil. Selain itu, kekuatan kemandirian juga
tercermin dalam sisten pendidikannya. Pondok pesantren dalan menjalankan
pendidikannya cukup mandiri dan merdeka, serta tidak terikat oleh suatu
institusi atau lembaga lainnya. Ini ditentukan melalui kurikulum sistem
pengajaran yang digunakan pengajar maupun lulusannya. Disamping itu,
sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dikenal dengan
"sistem pondok".Dengan sistem ini, proses pendidikan dan pengajaran
berIangsung terus menerus. Pengajaran dan pendidikan berlangsung, baik
dalam kelas maupun di luar kelas,siang maupun malam.
Dalam
sistem ini pula, hubungan antara ustadz atau kyai dengan santri atau
siswa berlangsung dalam setiap waktu sehingga terpadu suasana perguruan
dan kekeluargaan. Sistem pondok, dapat dikatakan sebagai pendidikan dan
kemandirian langsung yang dilakukan oleh santri atau siswa santri atau
siswa juga dihadapkan pada kehidupannya sendiri, yaitu pengaturan diri
sendiri dari sejak pengambilan keputusan sampai pelaksanaannya.
Solidaritas tumbuh secara wajar. Santri belajar saling menghormati dan
menghargai, serta tenggang rasa. Sikap dan sifat keterbukaan dapat
berkembang secara baik, sifat isolatif kurang atau tidak mendapatkan
tempat. Santri atau siswa berkompetisi secara sehat dalam proses meraih
prestasi.
Maksudnya,
santri atau siswa tidak hanya melihat Prestasi dari santri atau siswa
lainnya, tetapi santri atau siswa dapat belajar langsung dari temannya,
bagaimana cara meraih prestasi: cara belajar, membagi waktu dalam tugas,
dan lain sebagainya. Disinilah akan didapatkan sifat jujur untuk
dirinya dan pada yang lain.
Keberhasilan
dalam sistem pondok tidak lepas dari peranan kyai atau guru dalam
memberikan pengaturan, pengawasan dan bimbingan yang disertai dengan
keteladanan yang murni sebagai landasannya. Kemandirian Ini yang
dimiliki pondok pesantren adalah dalam pendanaan operasional, dimana
pesantren lebih mengutamakan pada santri dan masyarakat pendukungnya
yang nantinya tidak mengikat pada kebijaksanaan pondok pesantren.
Pembiayaan pondok pesantren hampir seluruhnya datang dari santri dan
sebagian lain dari Masyarakat pendukung pondok pesantren. Sifat
kemandirian dalam pembiayaan adalah keberhasilan dari lembaga pondok
pesantren yang telah mampu menjalin jaringan aksi, baik terhadap
lembaga, pemerintah dan masyarakat.Kedua, Faktor Sistem Nilai dan Kultur: sistem Nilai dan Kultur yang didukung dan hidup di lingkungan pesantren lebih kuat dibandingkan dengan sistem nilai dan kultur di luar. Sistem nilai kultur yang hidup dan didukung oleh lingkungan pesantren, dapat ditelusuri dari ajaran pembentuk kehidupannya. Nilai dan kultur pesantren begitu tertanam kuat di kalangan santri sehingga setiap santri bertanggung jawab atas kelangsungan nilai dan kultur yang hidup dan didukungnya. Nilai dan kultur itu tercermin dalam sikap hidup, tradisi yang berlaku, serta seni yang hidup, dimana semuanya bersumber dan ajaran agama Islam.
2. Faktor Eksternal
Pertama,
ditinjau secara kelembagaan, yaitu terdapat banyak "langgar-langgar"
yang tersebar hampir d seluruh desa. Langgar merupakan lembaga
pendidikan Islam tradisional yang mempunyai banyak kesamaan dengan
pondok pesantren. Bedanya hanya terletak pada santri tidak menetap dalam
pondok. Sedangkan dalam sistem pendidikan dan pengajarannya, secara
keseluruhan menyerupai pondok pesantren.Langgar biasanya didirikan oleh seorang Kyai yang sebelumnya telah belajar ilmu agama Islam di pondok pesantren. Lembaga langgar merupakan faktor pen dukung utama bagi eksistensinya pondok pesantren karena dari lembaga inilah penyebaran informasi oleh seorang Kyai dapat berlangsung, untuk melanjutkan ilmu agama Islam ke dalam pondok pesantren.
Jadi kedudukan lembaga langgar adalah lembaga Islam tradisional tingkat dasar.Kedua, masyarakat Islam tradisional yang tersebar di wilayah pedesaan dilihat dari mata pencaharian masyarakat Islam tradisional adalah petani, buruh, pedagang, dan sebagian kecil pegawai. Pondok pesantren mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat Islam tradisional karena antara keduanya mempunyai hubungan tradisionaI, dimana pondok pesantren memberikan bimbingan agamaan, pelayanan pendidikan, serta kepemimpinan infomal. Sementara sebagai timbal baliknya, masyarakat Islam tradisional memberikan sumbangan dalam pendanaan, baik melalui infak dan sadaqah, maupun melalui santri-santri yang belajar dipesantren.
Dalam
tradisi pesantren, metode dan sistem pengajaran, memiliki model-model
non-klasikal, yaitu sistem pengajaran individual dengan menggunakan
metode sorongan dan wetonan. Di daerah Jawa Barat metode wetonan disebut
metode bandongan, sedangkan di daerah Sumatera dikenal dengan metode
halaqah. Dua metode tersebut, sorongan dan wetonan merupakan ciri khas
dalam pengajaran di pesantren, sekaligus sebagai metode yang tertua dan
utama dalam pengajaran kitab-kitab kiasik (kitab kuning).
Kedua
metode tersebut telah bertahan sejak awal sejarah Islam di Indonesia
hingga sekarang dan terus dilestarikan, terutama di pondok pesantren
salaf. Metode sorogan, yaitu cara mengajar dimana santri menghadap kyai
atau ustadz seorang demi seorang, dengan menyodorkan kitab yang
dipelajarinya. Cara pengajarannya yaitu kyai atau ustadz membacakan dan
atau menyimak kitab yang berbahasa arab gundul (tanpa sandang apapun),
kalimat demi kalimat kemudian diartikannya dalam bahasa Jawa, baru
kemudian kyai atau ustadz menjelaskan secara keseluruhan. Kegiatan
santri adalah menyimak sambil memberi catatan-catatän kecil dibawah atau
disamping, atau ngesahi teks Arab sebagai bukti bahwa bagian tersebut
telah dipelajari.
Metode
sorogan merupakan sistem pengajaran individual yang sangat baik. Kyai
atau ustadz dengan santri dapat langsung berinteraksi sehingga proses
pengajaran dan pendidikan akan lebih bermakna. Pengajaran dengan metode
sorogan merupakan bagian yang paling sulit dalam keseluruhan sistem
pendidikan karena menuntut kesabaran, ketekunan, ketaatan dan
kedisiplinan santri. Kehandalan dan penggunaan sistem ini telah terbukti
sangat efektif dan selektif sebagai taraf dasar, atau awal bagi seorang
santri dapat meraih gelar seorang yang alim. Selain metode diatas
terdapat juga metode lain, yaitu metode musyawarah: "Sistem belajar
dalam bentuk musyawarah untuk membahas setiap masalah yang berhubungan
dengan pelajaran santri, yaitu santri harus mempelajari dan mengkaji
sendiri kitab-kitab yang telah ditunjukkan oleh kyainya.
Kyai
hanya membimbing dan sebagai narasumber terakhir bila santri mengalami
kesulitan. Metode ini sangat berguna untuk memecahkan masalah,
mengembangkan kreatifitas, bakat dan keilmuan, serta menyalurkan
pendapat didasarkan pada bukti dan acuan referensi. Selain itu sekarang
ini telah dikembangkan sistem pengajaran klasikal yaitu sistem
madrasah.Kedudukannya adalah sebagai pendamping dan ketiga metode di
atas. Penggunaan sistem madrasah ini merupakan jawaban positif pesantren
terhadap perkembangan dalam sistem pendidikan. Dengan adanya sistem
madrasah, maka pesantren juga mulai memasukkan pelajaran-pelajaran umum,
dan juga keterampilan-keterampilan tertentu bagi santrinya.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar