3. Konsep Pendidikan Islam dan Pesantren
Manzoor
Ahmed mendefinisikan pendidikan sebagai "suatu usaha yang dilakukan
individu-individu dari masyarakat untuk mentransformasikan nilai-nilai,
kebiasaan-kebiasaan, dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada
generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktivitas kehidupan
secara efektif dan berhasil".
Sharif Khan mendefinisikan maksud dan tujuan pendikan Islam sebagai berikut:
a) Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b)
Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran
fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa
ajaran-ajarar ini bersifat abadi.
c)
Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill
dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai
dengan Perubahan- Perubahan dalam masyarakat.
d) Menanamkam pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e) Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f) Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.
Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education
yang diadakan di Makkah pada tahun 1997: "Tujuan daripada pendidikan
(Islam) adalah menciptakan manusia "yang menyembah Allah" dalam arti
yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan
syariah Islam serta melaksanakan segenap aktivitas keseharian-nya
sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan. "Oleh karena itu, jelaslah bahwa
yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini bukanlah dalam arti
pendidikan ilmu-ilmu agama Islam semata. Akan tetapi yang dimaksud
dengan pendidikan Islam disini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental
Islam kepada setiap Muslim, terlepas dari disiplin ilmu apapun yang
akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan "anak-anak muda
enerjik yang cerdik pandai. Berdasarkan kerangka nilai-nilai pendidikan
Islam itu,
kita
mencoba berdialog dengan realitas sistem pendidikan, beserta seluruh
unsur yang melekat pada pesantren, sebagaimana yang dengan detil
dijabarkan diatas. Sampai batas-batas tertentu, pesantren telah berperan
besar mengenalkan, menyebarkan dan mempertahankan Islam (dan
nilai-nilai kemanusiaan) di Indonesia. Pola pendidikannya yang amat
menekankan fleksibilitas memberi nilai-nilai positif pada pesantren
untuk tetap eksis menghadapi perubahan zaman.Pendidikan pesantren muncul
dan berkembang sesuai kebutuhan masyarakat sekitar.
4. Fenomena Pesantren Modern
Sejak
dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai
kawasan Dunia Muslim tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional
Islam seperti pesantren yang mampu bertahan Kebanyakan lenyap setelah
tergusur oleh ekspansi sisten pendidikan umum untuk tidak menyebut
sistem pendidikan "sekuler" atau mengalami transformasi menjadi lembaga
pendidikan umum atau setidak-tidakny mnenyesuaikan diri dan mengadopsi
sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan umum Untuk memperjelas
argumen di atas, dapat dikemukakan nasib atau pengalaman beberapa daerah
pada kawasan dunia muslim lainnya dalam proses perubahan dan
modernisasinya.
Lembaga
pendidikan tradisional Islam di kawasai Timur Tengah pada umumnya
secara sederhana biasanya terdiri dan tiga jenis; madrasah, kuttab, dan
masjid. Sampai separuh abad 19, ketiga lembaga pendidikan tradisional
Islam ini relative mampu bertahan. Tetapi sejak perempatan terakhir abad
ke-19, gelombang pembaharuan dan modernisasi yang semakin kencang telah
menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak bisa dimundurkan lagi dalam
eksistensi lembaga lembaga pendidikan Islam tradisional. Pembangunan dan
modernisasi pendidikan Islam, tidak diragukan lagi, bermula di Turki
menjelang pertengahan abad 19 sebelum akhirnya menyebar hampir ke
seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani di Timur Tengah.
Tetapi
penting dicatat, program pembaharuan pendidikan di Turki semula tidak
menjadikan medresse (madrasah), lembaga pendidikan tradisional Islam,
sebagai sasaran pembaharuan. Yang terjadi adalah pembentukan
sekolah-sekolah baru sesuai dengan sistem pendidikan Eropa, yang
ditujukan untuk kepentingan-kepentingan reformasi militer dan birokrasi
Turki Usmani. Dalam konteks ini kita bisa melihat misalnya kemunculan "Mekteb-I ilm-I Harbiye"
(sekolah militer) pada tahun 1834 sesuai dengan model Prancis. Tetapi
dalam selang waktu yang tidak terlalu lama (1938) Sultan Mahmud II
(1808-1839) segera pula melancarkan pembaharuan pendidikan Islam dengan
memperkenalkan Sekolah Rusydiyyah, yang sepenuhnya mengadopsi sistem
pendidikan Eropa. Sistem sekolah Rusydiyyah ini independent, atau bahkan
berlawanan dengan medresse. Selanjutnya, Sultan ‘Abd al-Majid pada
tahun 1846 mengeluarkan peraturan yang memisahkan pendidikan Islam
dengan pendidikan umum, medresse berada di bawah yurisdiksi Syaikh
al-Islam, sedangkan sekolah umum dengan berbagai tingkatannya
ditempatkan di bawah tanggung jawab langsung pemerintah.
Tetapi,
penting dicatat bahwa sekolah umum yang diharapkan menjadi tulang
punggung modernisasi itu ternyata berkembang relative lambat. Ini
mendorong pemrinntah Turki Usmani untuk mengeluarkan ketetapan "Ma’arif
Umumiye Nizamnamesi" (1869), guna memperluas dan mempercepat
perkembangan sistem pendidikan umum model Eropa, dengan mengorbankan
medresse. Pukulan terakhir terhadap medresse terjadi pada tahun 1924,
ketika Mustafa Kemal Ataturk menghapuskan sistem medresse dengan
mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum. Pengalaman yang sama juga
ditempuh oleh Mesir.
Modernisasi
sistem dan kelembagaan pendidikan di Mesir dimulai oleh Muhammad Ali
Pasya. Pada tahun 1833 ia mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah umum,
yang dalam perkembangan awalnya hidup berdampingan dengan madrasah
kuttab. Sekolah dasar umum yang segera berkembang diseluruh wilayah
Mesir, semula dimaksudkan untuk menyiapkan calon-calon bagi sekolah
militer, yang juga didirikan Muhammad Ali Pasya. Semula isi
pendidikannya sebagaian besar adalah subyek-subyek Islam, ditambah
beberapa matapelajaran umum. Tetapi, dalam perkembangan lebih lanjut,
penekanan lebih diberikan kepada subyek-subyek umum. Dalam waktu yang
bersamaan, Muhammad Ali Pasya juga mendirikan sekolah-sekolah unum
tingkat lanjutan, yang dikenal dengan nama skolah Al-Tajhiziyyah.
Sekolah
ini terutama mengajarkan ilmu- ilmu umum seperti berhitung, ilmu ukur,
aljabar, mengambar dan lain-lain, selain juga memberikan beberapa mata
pelajaran agama. Sementara itu, madrasah dan kuttab secara umum tidak
mengalami perkembangan yang berarti, bahkan kuttab pada gilirannya hanya
menjadi semacam pelengkap bagi sekolah umum, khususnya untuk
mendapatkan tambahan pelajaran agama. Bahkan Khedive Ismail, pada tahun
i868, mengeluarkan ketetapan untuk mengintegrasikan madrasah dan kuttab
dalam sistem pendidikan umum. Meski demikian, upaya ini tidak begitu
sukses hasilnya, sistem pendidik madrasah dan kuttab tetap bertahan
dalam masa penjahan Inggris.
Tetapi
setelah kemerdekaan, dengan alasan integrasi atau nasionalisasi sistem
pendidikan nasional Mesir, pemerintah Gamal Abdel Nasser pada tahun 1961
menghapuskan sistem madrasah dan kuttab. Pengalaman Turki dan Mesir
agaknya cukup memadai untuk menggambarkan proses-proses memudar dan
lenyapnya sistem pendidikan tradisional Islam dalam gelombang
modernisasi yang diterapkan para penguasa di masing-masing negara
tersebut. Situasi-situasi sosiologis dan politis yang mengitari medresse
di Turki atau madrasah dan kuttab di Mesir dalam segi-segi tertentu,
agaknya berbeda dengan situasi sosiologis yang mengitari pesantren di
Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut, pada gilirannya membuat
pesantren tetap mampu bertahan. Dunia pesantren, dengan meminjam
kerangka Hussein Naser, adalah dunia tradisional Islam, yakni dunia yang
mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan
ulama dan masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam
sejarah Islam.
Karena
itu, tetap bertahannya pesantren agaknya secara implisit mengisyaratkan,
bahwa tradisi dunia Islami dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan
ditengah deru modernisasi. Pada awalnya, dunia pesantren terlihat
"enggan" dan "rikuh" dalam menerima modernisasi; sehingga tercipta apa
yang disebut Nurcholish Madjid sebagai "kesenjangan antara pesantren
dengan dunia luar". Tetapi secara gradul pesantren kemudian melakukan
akomodasi dan konsesi tertentu untuk kemudian menemukan pola yang
dipandangnya cukup tepat, guna menghadapi modernisasi dan perubahan yang
kian cepat dan berdampak luas. Tetap semua akomodasi dan penyesuaian
itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan esensi dan hal-hal dasar
lainnya dalam eksistensi pesantren. Pesantren mampu bertahan bukan hanya
karena kemampuannya untuk melakukan adjustment dan readjustment.
Tetapi jug arena karakter eksistensinya yang dalam bahas Nurcholish
Madjid disebut sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna
ke-Islaman, tetapi jug engandung makna keaslian Indonesia (indigenous).
Sebagai
lembaga indigenous, pesantren muncul berkembang dan pengalaman
sosiologis masyarak lingkungannya. Dengan kata lain, pesantren mempunyai
keterkaitan erat yang tak terpisahkan dengan komunitas lingkungannya.
Kenyataan ini bisa dilihat, tidak hany latar belakang pendirian
pesantren pada suat lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaa
eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, sadaqah, hibah
dan sebagainya. Sebaliknya pantren umumnya "membalas jasa" komunitas
lingkungannya dengan bermacam cara tidak hanya dalam bentuk memberikan
pelayanan pendidikan dan keagamaan tetapi juga bimbingan sosial,
kultural an ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam kontek inilah,
pesantren dengan kyainya yang disebut Clifford Geertz, sebagai (pialang budaya) dalam pengertian luas.
Tidak
hanya itu, pesantren bukan sekadar mampu bertahan dari goncangan
modernisasi sistem pendidikan yang melanda seluruh penjuru dunia. Tetapi
lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan konsesi yang
diberikannya, pesantren pada gilirannya juga mampu mengembangkan diri
dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam
sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar