Diposting oleh
jaki iskandar
di
07.11
Langkah-langkah
reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan
alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para
alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun
swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang
kemerdekaan dan mereka yang memenuhi
kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi
kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah
sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase Gontor.
Satu
persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak
mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa
pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.
Langkah
reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang,
terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni
mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.
Pembaharuan di Bidang Furu’
Yang
dimaksud perubahan di bidang furu’ di sini adalah beberapa perubahan
pada beberapa bidang yang dilakukan sejumlah pondok pesantren yang
berkiblat atau mengikuti Gontor. Seperti perubahan kurukulum dan
aktifitas pesantren. Hal ini terjadi karena dipandang masih adanya
beberapa kelemahan yang ditemukan pada Gontor. Atau karena adanya
kebutuhan masyarakat di mana pesantren itu berada. Untuk mengisi
kekurangan di bidang penguasaan kitab kuning umpamanya, beberapa
pesantren memasukkan kitab kuning sebagai sylabus, meskipun jam
pelajarannya berada di luar waktu sekolah, seperti halnya yang dilakukan
Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jakarta. Sistem kombinasi (perpaduan)
mazdhab Gontor dan Salaf ini belakangan banyak diterapkan di tengah
tumbuhnya pesantren-pesantren. Pengajaran kitab kuning pun tidak lagi
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar sebagaimana yang
ditemukan pada pesantren Salaf, meskipun demikian metode pembacaannya
(secara nahwu) masih mengikuti mazdhab Salaf, yaitu menggantikan
“Utawi-Iku” dengan “Bermula-Itu” pada kedudukan mubtada dan
khobar. Di sisi lain sejumlah pesantren mengikuti sylabus Depag atau
Depdikbud. Hal itu karena didorong tuntutan masyarakat yang menginginkan
anaknya menggondol ijazah negeri setelah menyelesaikan studinya.
Sebagai konsekwensinya, mau tidak mau beberapa materi yang terdapat pada
Gontor dikurangi mengingat jatah kurikulum pemerintah tadi. Atau paling
tidak beberapa jam pelajaran dibagi-bagi untuk memenuhi kurikulum tadi.
Sehingga bobot Gontornya sedikit berkurang. Namun demikian, langkah ini
membantu para alumninya melanjutkan pendidikan di mana saja karena adanya
ijazah negeri. Bentuk terakhir ini kita dapatkan pada Pondok Pesantren
Daarun Najah, Daarul Qolam dan pesantren-pesantren sekarang pada
umumnya.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar