Diposting oleh
jaki iskandar
di
07.35
Ketiga, kitab-kitab tauhid (teologi). Diketahui, mayoritas pesantren
di nusantara cenderung mengajarkan kitab-kitab tauhid berhaluan
Asy’ariyyah atau Maturidiyyah, seperti Umm al-Barahin, Sanusi, Dasuqi,
Kifayah al-’Awwam, Tijan al-Darari, dan sebagainya. Mereka juga terkenal
moderat, karena berhasil memoderasi tauhid a la Muktazilah yang
menonjolkan nalar dan Khawarij yang gampang melontarkan tuduhan kafir
pada kelompok lain.
Bahkan kelompok Khawarij ini tak canggung melakukan kekerasan fisik
(pembunuhan) pada kelompok yang tak sepaham. Jika secara genetis tradisi
pesantren berakar dari Khawarij, maka bisa dimaklumi pesantren identik
dengan aksi-aksi terorisme. Tapi nyatanya tidak demikian, karena tradisi
pesantren tidak bersumber dari Khawarij.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan, secara genetika
pesantren tidak terkait sedikitpun dengan kelompok yang mengedepankan
kekerasan atau terorisme. Karena itu, jika terbukti ada segelintir
alumni pesantren yang terseret arus terorisme, bisa dipastikan mereka
telah termakan ajaran-ajaran yang berkembang di luar tradisi pesantren.
Sebagai bukti, dalam karyanya Aku Melawan Terorisme, Imam Samudra
yang alumni pesantren mengaku, dirinya bertindak demikian karena
terilhami buku Ayat al-Rahman fi Jihad al-Afghan karya Abdullah Azzam.
Buku ini tidak pernah dijadikan acuan dalam tradisi pesantren. Selain
itu, jika pesantren diklaim sebagai produsen teroris, padahal pesantren
hanya mengamalkan ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab klasik,
mengapa hanya pesantren di Indonesia saja yang dikait-kaitkan dengan
terorisme, sementara banyak pesantren di negara lain juga mengajarkan
kitab-kitab yang sama? Ini pertanyaan besar yang sulit dicari jawabnya.
Wa Allah a’lam.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar