Untuk itu, jika runutan genetika pemikiran fiqh pesantren berujung
pada al-Syafi’i, bisa dipastikan pemikiran fiqh moderatlah yang
dikembangkan pesantren. Lebih tegas lagi, kitab-kitab acuan pesantren
yang berhaluan Mazhab al-Syafi’i seperti Fath al-Mu’in, I’anah
al-Thalibin, Taqrib, Kifayah, Muhaddzab, dan sebagainya, tak ada satupun
yang mendorong munculnya aksi kekerasan. Andaipun kitab-kitab itu
memaparkan jihad misalnya, yang pertama kali ditekankan bukanlah jihad
dalam pengertian sempit mengangkat senjata.
Kedua, kitab-kitab tasawuf. Dalam tradisi pesantren nusantara, secara
umum kitab-kitab tasawuf yang diajarkan adalah karya-karya Muhammad
al-Ghazali (w. 505 H), seperti Ihya ’Ulum al-Din atau Bidayah
al-Hidayah. Di sana juga tak terdapat satupun ajaran yang menghendaki
tindak kekerasan semisal terorisme. Bahkan, kelembutan muslim Indonesia
lebih banyak diwarnai ajaran tasawuf itu.
Malah, Damarjati Supadjar, kala memberi pengantar buku Islam Jawa
karya Mark R Woodward menulis, Islam yang pertama kali datang ke
Indonesia berhaluan Syiah Batiniyyah yang bercorak sufistik. Dan
sepanjang sejarah, tidak ada aksi terorisme yang diawali ajaran tasawuf,
karena tasawuf cenderung diam menyikapi gejolak kehidupan. Martin van
Bruinessen juga mengakui, pada mulanya tradisi pesantren lebih
bernafaskan sufistik. (h. 20).
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar