Adopsi lembaga pendidikan Timur-Tengah
Pendapat
kedua menyatakan pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam
Timur-Tengah. Martin van Bruinessen tidak sepakat dengan pendapat
pertama di atas sebab ia cenderung melihat adanya kedekatan antara
pesantren dengan sistem pendidikan Islam di Timur-Tengah. Secara nyata
ia menduga bahwa Al Azhar di Mesir dengan riwaq-nya.
Lain halnya Zamakhsyari Dhofier yang berpendapat bahwa pesantren di
Jawa (Indonesia) merupakan kombinasi antara madrasah sebagai pusat
pendidikan dan kegiatan tarekat.
Buku
ini menjelaskan bahwa pada abad ke-19 Belanda mengadakan survei pertama
terhadap pendidikan pribumi yang dilakukan pada 1819. Namun Bruinessen
menangkap kesan bahwa pesantren dalam bentuk seperti yang ada sekarang
belum ada di seluruh Jawa pada abad ke-19. Hanya saja ia menyatakan
bahwa ada lembaga-lembaga yang mirip pesantren di Priangan, Pekalongan,
Rembang, Kedu (Magelang, Temanggung, Wonosobo, Kebumen, Purworejo, dan
sekitarnya) Surabaya, Madiun, dan Ponorogo (terletak di Tegalsari). Di
daerah-daerah inilah terdapat “pesantren” terbaik, dan di sinilah
anak-anak dari pesisir utara Jawa melakukan kegiatan pendidikan.
Pesantren, Perdikan, Paguron, Padepokan
Berdasarkan
pengamatannya pada beberapa karya sastra lama, Martin tidak menemukan
istilah pesantren. Dalam Serat Centhini dijelaskan bahwa salah seorang
tokoh pemeran dalam karya ini, seorang pertapa bernama Danadarma,
mengaku telah belajar tiga tahun di Karang, Banten, di bawah bimbingan
“Syekh Kadir Jalena”.
Tokoh
utama lainnya, Jayengresmi alias Among Raga, juga diceritakan ia
belajar di paguron Karang, Banten, di bawah bimbingan seorang guru
bangsa Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang lebih dikenal
dengan sebutan Kiai Ageng Karang. Dari Karang, Banten, ia pergi ke
paguron (perguruan) besar lainnya di desa Wanamarta, Jawa Timur. Makanya
dalam Wejangan She Bari (buku panduan Islam Ortodoks, menurut GWJ Drewes) tidak ditemukan istilah pesantren, melainkan ‘paguron’ atau ‘padepokan’.
Sampai
akhir abad ke-19 laporan pemerintah Belanda pada tahun 1885 mencatat
jumlah pendidikan Islam tradisional sebanyak 14.929 di seluruh Jawa dan
Madura (kecuali kesultanan Yogyakarta), tidak dirinci berapa jumlah
pesantren yang sebenarnya dan tidak dibedakan dengan lembaga pendidikan
dasar.
Oleh sebab ada
perbedaan bentuk dan tingkatan dalam sistem pendidikan Islam tradisional
di Jawa, LWC van Den Berg menganalisa laporan statistik tahun 1885 itu:
ternyata 4/5 dari jumlah lembaga tersebut adalah lembaga pengajian yang
mengajarkan pembacaan al-Qur'an, dasar-dasar bahasa Arab, kitab-kitab
pengetahuan agama tingkat dasar sampai tinggi yang tergolong sebagai
pesantren.
Yang jelas
bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial keagamaan tidak
muncul begitu saja. Pesantren muncul setelah melalui proses interaksi
antar Muslim di Jawa dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok terhadap
pendidikan Islam. Kontak budaya antara masyarakat Jawa dengan
pusat-pusat keislaman dan keilmuan Islam telah memperkenalkan budaya
dari luar Jawa, termasuk sistem pendidikan Islam kepada masyarakat (hlm.
79). Karena pola perkembangannya berulang-ulang dan menjadi standar,
maka proses ini disebut proses pelembagaan atau institutionalization
(hlm. 11) Berdasarkan penjelasan di atas, buku ini mengupas proses
pelembagaan pesantren di Jawa dengan memperhatikan asal-usul dan
perkembangan pesantren sampai abad ke-19 M.
***
Desa
(tanah) perdikan adalah tempat yang mendapatkan kebebasan membayar
pajak atau kerja rodi oleh penguasa setempat. Status tanah perdikan
telah dikenal jauh sebelum kedatangan Islam di Jawa. Berdasar
prasasti-prasasti yang ditemukan, status desa perdikan sudah dikenal di
Jawa sejak masa Mataram awal. Prasasti Dieng (809 M) menjelaskan bahwa
tanah perdikan dimaksudkan sebagai anugerah kepada pejabat desa atau
perseorangan karena jasa atau untuk kepentingan tertentu tanah itu
diberikan (hlm. 78).
Pada
masa Hindu-Budha secara umum tanah bebas ditetapkan untuk kepentingan
tertentu. Di samping diberikan kepada seseorang yang telah memiliki jasa
kepada raja, juga ditetapkan untuk orang-orang yang memberikan contoh
kehidupan saleh kepada lingkungan masyarakat mereka atau memberikan
pengajaran, serta untuk penduduk yang merupakan abdi-abdi Tuhan dan
gunung suci Brahmana, pertapaan, biara-biara para rahib, tempat-tempat
suci, makam-makam, dan sebagainya (hlm. 82)
0 komentar:
Posting Komentar